Jika komunitas underground di Indonesia cukup berpengaruh di Asia, Bandung tentunya mendominasi komunitas underground yang ada di Indonesia.
Cermati lebih jauh dalam kurun waktu 14 tahun (1994-2008)
Era `90-an
Tahun 1994 menjadi tahun penting bagi perkembangan generasi yang lahir di era `70-an dan tumbuh menjalani masa remajanya di era `90-an. Identitas kelompok underground ini sangat dipengaruhi oleh pergolakan sosial, politik, ekonomi. Pergolakan ini membawa semangat perlawanan dan gerakan underground yang memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Pada tahun itu, aksi perlawanan muncul dalam bentuk demonstrasi, penerbitan media-media independen, dan pertunjukan- pertunjukan musik. Pada kurun waktu pertengahan `90-an, ruang seperti GOR Saparua, Tea House, Hingga AACC menjadi tempat pertemuan penting bagi komunitas underground bandung. Situasi politik global pada saat itu pun turut mewarnai perkembangan komunitas underground Bandung. Pertemuan pemimpin negara APEC di Bogor tahun 1994 untuk mendeklarasikan dimulainya Perdagangan Bebas tahun 2002, mengundang reaksi perlawanan dari komunitas underground lewat penerbitan zine, media alternatif untuk perlawanan. Zine seperti Submissive dan Tigabelas, menjadi cukup berpengaruh saat itu. Zine alternatif tersebut adalah adalah media propaganda komunitas mengenai anarkisme, pacifisme, dan gerakan-gerakan perlawanan terhadap wacana globalisasi yang didukung oleh WTO (World Trade Organization) . Lirik lagu dari komunitas ini pun tak kurang menyuarakan hal yang sama. Ideologi politik ini membawa komunitas underground dalam kurun waktu pertengahan hingga akhir `90-an, terlibat dalam gelombang demonstrasi meruntuhkan rezim Orde Baru. Yel-yel "rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.. .!" tidak hanya bergema pada saat demonstrasi berlangsung, namun juga pada saat konser-konser underground. Gelombang perlawanan dan perjuangan atas kebebasan berekspresi dan mengemukanan pendapat membuat keragaman atribut penanda identitas komunitas menjadi pemandangan yang justru mengemuka. Atribut komunitas yang mencirikan identitas komunitas punk, hardcore, black metal, ska, brit pop (tidak ada emo kala itu) beserta paham yang dianutnya, bisa bertemu tanpa menimbulkan friksi yang berarti. Suasana komunalitas dan kekompakan ini pada era `90-an, juga terasa sampai ke komunitas yang berada di pinggiran Bandung. "Konser – konser yang ada pun selalu penuh penonton dan aman-aman saja. Padahal, band-band yang jadi bintang tamu lumayan band-band tarik, Injected, Burgerkill, Keparat bahkan acara paling besar yang di adakan di bandung “BANDUNG BERISIK” malah lebih aman. Dulu penonton dan bandnya kerasa lebih kompak, kalau ada perkelahian itu hanya masalah kecil dan bisa diatasi," ungkap Dadang `Uzho` Sumarna, mantan manajer Sub Chaos, band punk paling berpengaruh di wilayah Bandung Selatan pada masa itu. Suasana komunalitas yang kental membuat warna komunitas underground pada saat itu terasa lebih guyub dengan militansi yang kuat. Keterbatasan fasilitas seperti ruang pertunjukan dan modal untuk membuat acara, bukanlah penghalang. Dengan poster fotokopi dan rekaman yang diproduksi sendiri serta acara yang diselenggarakan dengan biaya kolektif, tanpa sponsor mewarnai semangat komunal. Tempaan situasi politik dan sosial ditingkat makro dan mikro membuat militansi komunitas menjadi karakter yang kuat dan mengemuka pada era `90-an.
Tahun 2000-an
Pergeseran karakter ini mulai terasa saat ruang gerak komunitas mulai dibatasi justru setelah era reformasi. Pertemuan dan konser komunitas underground mulai berkurang, saat akses terhadap ruang seperti GOR Saparua dibatasi dengan cara pengelola meningkatkan harga sewa sehingga tidak terjangkau lagi. Selain itu, faktor penting yang memengaruhi pergeseran karakter ini adalah perkembangan teknologi informasi khususnya akses internet yang semakin luas di akhir tahun `90-an. Dari semangat komunalitas dan kolektivitas lambat laun bergeser menjadi lebih individual. Perubahan medium aktualisasi ini membuka peluang-peluang baru yang kemudian digarap secara serius oleh sebagian anggota komunitas. Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia setelah reformasi, pada tahun 1998, menjadi badai yang menguncang, tak terkecuali juga kehidupan komunitas-komunitas underground Bandung. Musuh besar yang dihadapi bukan lagi kekuasaan tiran, namun kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sehari-hari. Pada situasi sulit seperti ini, peluang-peluang baru justru terbuka. Distro dan clothing label justru mulai tumbuh subur di akhir `90-an dan semakin pesat di awal tahun 2000-an hingga pertengahan 2000. Pada masa ini, pertunjukan musik dan acara-acara komunitas underground justru menyusut tajam dan terasa sampai ke pelosok Bandung seperti wilayah Bandung Selatan. Selain itu, pergesaran tren musik dunia dari era `90-an yang didominasi oleh aliran hard metal, trash metal, grunge, nu-metal,(tidak ada emo) menjadi lebih eksperimental dengan memaksimalkan teknologi. Perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi baru setelah badai krisis ekonomi yang melanda di akhir `90-an, membuat gelombang konsumerisme global menguat dan merasuk ke seluruh penjuru kehidupan. Identitas komunitas underground terkena pula imbasnya. Booming usaha distro dan clothing label Bandung mengubah atribut dan identitas komunitas menjadi lebih seragam. Para pelaku bisnis ini yang berasal dari komunitas underground sendiri. Rekan komunitasnya menjadi peluang pasar. Hubungan komunalitas yang militan, kemudian berubah menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk mempertahankan eksistensi komunal. Kegiatan komunitas mendapat dukungan sponsor dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota komunitas lain yang memilih jalur usaha untuk ditekuni. "Waktu belum banyak distro dan clothing, susah banget cari sponsor buat kegiatan atau promosi band anak-anak," kata Bonde Rizyan, yang sejak pertengahan `90-an malang melintang sebagai manajer dan pengelola event underground di Bandung. "Sekarang lebih mudah mencari sponsor, jadinya bisa saling mendukung antara band dan clothing label." Pergeseran ini, menurut Bonde bisa dilihat sebagai perpindahan fase dari para pelaku komunitas underground yang ada di Bandung. "Sekarang, peluang untuk band-band indie sukses secara komersial lebih besar karena peluang untuk indie label pun lebih besar. "Generasi sekarang sebetulnya lebih enak karena infrastruktur pendukungnya sudah lebih siap. Sekarang, yang namanya indie tidak lagi dipandang sebelah mata oleh media juga oleh industri. Generasi sebelumnya sering kali lost opportunity karena aksesnya tidak ada,". "Musik apa pun punya zamannya masing-masing. Tetapi dipertahankan oleh komunitasnya atau tidak, itu masalah lain,". kata Uzho ketika menanggapi vakumnya band-band underground seperti Sub Chaos. Menurut dia, eksistensi band dan komunitas underground sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang ada didalamnya. Peristiwa Sabtu (9/2) di AACC yang menewaskan lebih dari 10 orang seolah menjadi interupsi bagi dinamika pergeseran karakter komunitas underground Bandung. Peristiwa ini, bukan sekadar persoalan teknis penyelenggaraan acara atau kebutuhan ruang fisik pertunjukan yang memang sudah tidak memadai, namun yang lebih penting untuk direnungkan komunitas underground sendiri adalah bagaimana pergeseran karakter komunitas ini mampu dihadapi oleh komunitasnya tanpa menimbulkan benturan yang memakan korban jiwa. Tolong disebarluaskan, agar tidak menimbulkan salah paham yang mencap buruk jenis musik/ komunitas musik tertentu.
Ditulis oleh Eben, gitaris BurgerKill, yg menjadi saksi mata kejadian tersebut.
Bandung, 9 Februari 2008
Cerita pendek Tragedi Berdarah konser musik Beside.
Tepat jam 19.00 wib saya tiba di gedung AACC di jalan Braga Bandung, tempat dimana launching album perdana band metal asal kota kembang Beside digelar. Suasana diluar gedung sangat ramai dipenuhi teman-teman dari komunitas yang berkumpul untuk menyaksikan konser tunggal dari band yang baru saja meluncurkan album bertitel "Against Ourselves" ini. Di depan gerbang gedung yang berkapasitas 500 orang ini saya melihat ratusan metalhead yang terus mengantri berusaha masuk kedalam gedung, terlihat juga beberapa orang aparat keamanan yang sedang bersantai duduk diatas motor yang diparkir di depan gedung. Tidak lama kemudian dari luar terdengar Beside sudah mulai menggeber lagu pertama dari set list konser mereka malam ini, tanpa banyak menunggu saya langsung masuk melalui pintu samping gedung yang dikhususkan untuk para undangan dan teman-teman media. Dari pinggir panggung saya melihat hampir 800 metalhead memadati crowd yang intens berpogo ria diiringi penampilan Beside yang powerfull, setelah saya perhatikan nampaknya pihak panitia telah menjual jumlah tiket yang melebihi kapasitas gedung. Sempat beberapa kali saya melihat beberapa penonton yang mabuk dan pingsan dehidrasi dikarenakan kurangnya sirkulasi udara segar di dalam gedung, tapi sangat disayangkan pihak panitia tidak sigap menyediakan bantuan yang maksimal seperti PMI atau tim khusus untuk menangani kejadian seperti ini, sehingga beberapa penonton yang pingsan hanya dibiarkan tergeletak di lorong samping panggung tanpa pertolongan yang benar. Memang udara didalam gedung sangat panas dan pengap hingga dipertengahan konser saya berjalan keluar melalui jalan samping untuk membeli minuman dingin. Dari depan pintu samping saya melihat kerumunan penonton tanpa tiket yang beramai-ramai berusaha merubuhkan gerbang utama gedung AACC ini, namun sayangnya para aparat yang berada di sekitar gerbang tidak melakukan tindakan antisipasi dan hanya berdiri merokok menyaksikan kejadian tersebut. Sempat saya mengingatkan salah seorang aparat untuk segera bertindak tapi hanya sebuah jawaban sederhana yang saya terima, "Udah biarin aja ada panitia yang jaga, kamu ga usah ikut-ikutan" tuturnya. Aneh mendengarnya, seharusnya mereka lebih sigap dan segera mengamankan kejadian tersebut. Merasa tidak digubris saya kembali masuk kedalam gedung dan memberi tahu kondisi diluar gedung ke pihak panitia yang berjaga didalam, akhirnya beberapa panitia berlarian keluar untuk ikut membantu. Setelah pemutaran video klip "Holyman" melalui big screen di kanan kiri panggung para personil Beside terlihat membagikan beberapa gelas bir kepada penonton yang berada di barisan depan panggung, tentunya suguhan ini dengan gembira ditanggapi oleh para penonton yang memang kehausan setelah terus berpogo. Tak berselang lama Beside kembali bersiap dan melanjutkan konser mereka. Sekitar jam 20.30 konser yang berjalan lancar ini berakhir, kerumunan penonton yang mengantri untuk keluar pun terlihat aman dan tertib. Didalam gedung terdapat beberapa penonton yang kelelahan dan beristirahat sambil menunggu antrian yang cukup panjang. Dan tragedi buruk ini pun dimulai, tidak lama kemudian saya mendapat kabar bahwa diluar ada dua orang penonton yang meninggal karena kehabisan nafas. Tiba-tiba seorang aparat tanpa seragam naik ke atas panggung dan langsung berteriak-teriak menyuruh semua penonton yang ada didalam gedung untuk segera keluar. Tanpa basa-basi pun beberapa polisi lainnya ikut masuk kedalam dan dengan kasar mengusir semua penonton yang tersisa. Kembali saya coba mengingatkan para aparat untuk tidak bertindak kasar dan menerangkan bahwa diluar antrian penonton masih panjang. Namun sekali lagi omongan saya tidak digubris dan mereka terus bertindak seenaknya mendorong dan menendang para penonton, dan akhirnya suasana antrian menjadi tidak terkendali. Beberapa penonton dibagian belakang terus mendorong kedepan karena takut terkena pukulan para aparat yang terus memaksa keluar, sangat jelas terlihat bertambahnya korban yang pingsan karena terinjak-injak antrian yang terus menumpuk. Dalam kondisi panik saya berusaha membantu seorang penonton yang tergeletak pingsan didepan gedung dan membopongnya untuk dibawa kedalam mobil salah satu panitia. Tiba-tiba salah seorang teman saya yang juga ikut membantu korban dipukul wajahnya oleh seorang oknum aparat tanpa alasan yang jelas, dengan sigap saya berusaha melerai mereka. Dan sekali lagi sikap angkuh dan sok jagoan dari seorang oknum aparat pun dipertontonkan, dengan sikap yang kampungan hampir 20 orang aparat langsung menyerang saya dan mengeroyok membabi buta seperti segerombolan preman yang haus berkelahi. Akhirnya suasana kembali tidak terkendali dan kerusuhan pun terjadi, beberapa teman yang ikut melawan dan melindungi saya pun ikut terkena pukulan dan tendangan dari oknum-oknum aparat yang terus bertambah sehingga kami semua berpencaran berlari jauh untuk menghindar. Dari kejauhan saya melihat beberapa korban yang pingsan didepan gedung diusir dengan kasar oleh beberapa aparat, dan mereka pun langsung memasang Police Line agar tidak ada lagi penonton yang masuk kedalam gedung. Tak lama kemudian saya mendapat kabar bahwa beberapa teman saya dibawa ke Polwiltabes Bandung sebagai saksi untuk dimintai keterangan perihal kejadian tersebut, dan saya pun langsung menuju kesana untuk mencari tahu kepastian beritanya. Sesampai di kantor polisi saya melihat beberapa panitia yang berkumpul sambil menunggu giliran untuk di interogasi. Saya mencoba menghampiri dan bertanya kepada mereka tentang berita terakhir korban tragedi tersebut dan ternyata jumlah korban yang meninggal sudah mencapai 10 orang yang tersebar di 2 Rumah Sakit. Beberapa korban yang tidak tertolong meninggal di RS Bungsu dan RS Hasan Sadikin Bandung, dan menurut panitia yang ikut mengantar ke rumah sakit bercerita setibanya di rumah sakit hampir sebagian besar korban tidak dilayani dan hanya dibiarkan saja oleh pihak rumah sakit hingga akhirnya mereka meninggal dunia. Mungkin hal ini terjadi dikarenakan pihak rumah sakit takut akan tidak selesainya urusan admistrasi dari masing-masing korban. Sungguh kondisi yang sangat mengecewakan dan menyesakan dada, namun apa daya semuanya sudah terlewati dan kami sudah tidak bisa membantu lebih banyak lagi. Dunia musik Indonesia kembali berduka, sebuah konser musik yang menelan korban jiwa kembali terjadi. Lalu siapa yang bisa disalahkan? Apakah buruknya persiapan antisipasi panitia yang nakal dengan menjual tiket diluar kapasitas gedung? Apakah juga bobroknya sikap aparat sebagai pihak yang seharusnya mengatur keamanan di lokasi konser? Atau terlalu banyaknya teman-teman kita yang terlalu mabuk ketika menonton konser? Lalu bagaimana dengan parahnya pelayanan di rumah sakit yang terkesan acuh untuk menangani korban? Saya rasa semua itu bisa menjadi penyebabnya, dan kita hanya bisa menyesalinya. Tentunya setelah tragedi ini rasa pesimis teman-teman di komunitas akan sulitnya izin untuk bisa menyelenggarakan konser-konser akan semakin bertambah. Dengan adanya tulisan pendek ini mudah-mudahan berita miring di media yang terkesan memojokan teman-teman komunitas atas tragedi ini dapat sedikit diluruskan, dan kejadian ini dapat dijadikan contoh kasus yang perlu diteladani dan disikapi dengan benar oleh semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan sebuah konser musik. Tulisan ini hanya sebuah pandangan dan opini seorang musisi, teman, dan penikmat musik yang sangat mengharapkan suasana yang kondusif dari sebuah konser. Dari lubuk hati yang paling dalam saya mewakili komunitas musik sejagad Indonesia turut merasakan prihatin dan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas tragedi ini. Semoga teman-teman kami yang telah pergi dapat beristirahat dengan tenang dan segala kebaikannya diterima disisi Allah SWT, Amien.
Live hard, die hard. Rest In Peace Brothers, we're gonna miss u.
Posted by Megabenz.(Eben BKHC)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar