This Time

"They got the gun but we got the number, Gonna win, Yeah, We'll take it

"They got the gun but we got the number, Gonna win, Yeah, We'll take it
over! C'mon!..."


Menyikapi tragedi di gedung AACC, Sabtu kelabu 9 Februari 2008, Solidaritas Independen Bandung melakukan dua solusi, yaitu dengan cara litigasi dan non-litigasi. Litigasi berkaitan dengan hukum, sementara non-litigasi berkaitan dengan pendataan kembali kondisi sosial budaya yang berkaitan dengan tragedi tersebut. Saya termasuk dalam tim non-litigasi.

Ada satu hal yang saya kritisi dalam pernyataan-pernyataan dari komunitas menyikapi Tragedi AACC. Kebanyakan pernyataan-pernyataan tersebut adalah respon yang lebih mengkonfrontasi pernyataan kepolisian dan pemerintah. Satu lagi wacana yang merebak, menuding pemerintah lalai dalam menangkap gejala global di kalangan pemuda, terutama dalam gairah musik metal di kota Bandung yang ujung-ujungnya meminta fasilitas gedung kesenian kepada pemerintah.

Untuk memandang masalah ini lebih jernih, bekerja sama dengan Jurusan Sastra Jerman Unpad, maka saya, Addy Gembel, dan Ucok Homicide menggelar diskusi Si Kumis dan Begundal di Ujungberung Rebels, Nihilisme Nietzsche, Ivan Scumbag, dan Dinamika Ujungberung Rebels. Diskusi ini awalnya akan membedah dinamika komunitas Ujungberung Rebels sebagai salah satu komunitas musik metal bawahtanah tertua dan tertangguh dari perspektif filsafat nihilisme dan ubermensch-nya Nietzsche.

Satu hal yang sangat penting untuk dicatat dalam diskusi ini ternyata adalah kesadaran akan sejarah komunitas. Ujungberung Rebels tumbuh sejak akhir 1980-an. Di awal 1990-an mereka sudah membentuk sebuah komunitas bernama Bedebah, singkatan dari Bandung Death Metal Area - walau pada kenyataannya tak cuma anak-anak death metal yang ikut bergabung degan mereka. Punk rock, thrash metal, death metal, grindcore, black metal, hingga industrial saling berbaur. Nama Bedebah sendiri diambil dari program siaran di radio Salam Rama Dwihasta, Taruna Parahyangan, Ujungberung. Bedebah memutar lagu-lagu Carcass, Napalm Death, Terrorizer, Deicide, dan Sepultura ketika radio-radio lain masih menyiarkan musik heavy metal.

Pada era ini ada empat band metal yang menjadi ikon Ujungberung ; Funeral, Necromancy, Jasad, dan Orthodox. Mereka menggebrak berbagai panggung di Kota Bandung - dari panggung-panggung festival, hingga pensi-pensi sekolahan. Mereka minoritas tetapi sangat solid. Bergerak dari satu panggung ke panggung yang lain bersama-sama, dengan attitude metal, dan semangat kebersamaan. Generasi ini pula yang pertama kali membuka kran informasi mengenai permetalan dunia dengan menggencarkan pemesanan majalah metal internasional, kaos, kaset atau CD band-band metal, juga merekam ulang, dan memperbanyak serta menyebarkannya di kalangan mereka sendiri. Mereka juga berani membawakan lagu-lagu ciptaan mereka sendiri di atas panggung.

Apa yang telah mereka rintis ternyata menginspirasi generasi selanjutnya. Di Ujungberung, inspirasi ini menemukan wadahnya ketika Studio Palapa berdiri pada tahun 1993. Berdiri dua band baru ; Analvomit dan Three Side of Death. Kemudian berdiri juga Disinherit, Sonic Torment, Sacrilegious, Forgotten, Burgerkill, Infamy, Naked Truth, Beside, Embalmed, Disinfected, Injected Sufferage, dan lain-lain. Perkembangan ini kemudian diolah dalam sebuah organisasi bernama Extreme Noise Grinding [ENG]. Berdiri tahun 1995, ENG merancang dua program propaganda metal Ujungberung, yaitu dengan penerbitan zine dan pergelaran musik. Zine yang kemudian berdiri adalah Revolution Programs atau kita kenal sebagai Revograms [Mei 1995]. Sementara pergelaran yang digeber adalah Bandung Berisik Demo Tour atau kita kenal sebagai Bandung Berisik #1. Semua band yang manggung di event ini telah memiliki lagu sendiri dan merekamnya ke dalam sebuah demo. Tradisi mencipta lagu semakin kuat di sini. Majalah Hai pada tahun 1995 mencatat dari 10 band indie Indonesia, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung [Jasad, Sonic Torment, dan Sacrilegious].

Kedua propaganda tersebut berhasil dengan gemilang. Komunitas musik metal bawahtanah Ujungberung semakin menggurita. Studio Palapa yang asalnya mampu menampung para musisi muda, kini terasa semakin sempit saja. Tak lama kemudian, mereka, dengan kaos hitamnya segera memenuhi trotoar jalan raya Ujungberung. Pada era ini, pembelajaran komunitas akan bermusik sedang gencar dilakukan. Eksplorasi sound yang mantap, aksesoris-aksesoris instrument, hingga pembinaan kru, tehnisi, sound engineer, dan manajerial. Kita kemudian kenal nama Homeless Crew dari Ujungberung. Sebuah nama yang juga merepresentasikan menolak kemapanan dan kenyamanan. Jiwa-jiwa yang resah mulai lahir saat itu...

Segala keresahan itu mereka tuangkan menjadi karya. Setidaknya telah ada empat belas band di Ujungberung pada tahun 1997. Mereka kembali berkumpul untuk menggelar Bandung Berisik #2 dan merencanakan rilisan kompilasi lagu-lagu band-band metal bawahtanah Ujungberung. Kompilasi ini rencananya diberi judul Ujungberung Rebels. Namun, ketika dirilis Aquarius pada tahun 1998, judulnya berubah menjadi Independen Rebels. Nama Ujungberung Rebels sendiri sejak itu lekat menjadi identitas komunitas musik metal bawahtanah Ujungberung.

Komunitas ini kemudian banyak melahirkan, tak hanya band-band metal terbaik di Indonesia, atau mungkin di Asia, tetapi juga sederet kru yang berkomitmen dan berkualitas tinggi. Komunitas ini perlahan namun pasti telah berkembang. Salah satu faktor yang menunjang perkembangan band-band metal, adalah hadirnya Generasi Muda Radio [GMR] dan Gelora Saparua sebagai tempat pergelaran musik.

Setelah berbagai masa susah dan senang, kini Ujungberung Rebels diwarnai setidaknya tiga sektor ekonomi kreatif di dalamnya, yaitu fesyen, label, dan literasi. Di ranah fesyen, Ujungberung Rebels punya MediaGraph, Chronic, Distribute, Reek, Melted, dan Scumbag Premium Throath. Di ranah label rekaman Ujungberung Rebels memiliki Pisces Records, Rottrevore Record, dan Revolt! Records. Sementara di bidang literasi ada MinorBacaanKecil, Minor Books, Totalokal, dan toko buku Omuniuum. Selain itu, ada juga ranah perekonomian lainnya seperti warnet dan sentra kuliner.

Segala pencapaian tersebut rasa-rasanya benar-benar dilakukan sendirian. Sama sekali tak ada campur tangan pihak-pihak lain selain komunitas Ujungberung Rebels sendiri, dan Bandung Underground serta komunitas-komunitas musik metal bawahtanah luar kota pada umumnya. Tak ada campur tangan pemerintah, lembaga pendidikan, institusi agama, kepolisian, parpol, ormas. Kita berdikari! Berdiri di atas kaki sendiri!...

X X X X XMenjadi sesuatu yang aneh jika kemudian kita sekarang meminta-minta sebuah gedung pertunjukan kepada pemerintah. Dari sejarah komunitas Ujungberung Rebels yang juga berhubungan erat dengan komunitas-komunitas independen lainnya di Kota Bandung, tak pernah ada kisahnya kita meminta-minta apapun kepada pemerintah. Jangan karena sebuah
tragedi, hati kita lalu lantas lembek, enggan mengakui jika ini adalah tanggung jawab kita bersama, seluruh komunitas di Kota Bandung itu sendiri. Menyalahkan pemerintah atau polisi bukanlah sebuah solusi yang bijak karena dengan demikian kita sudah mengakui adanya eksistensi lembaga-lembaga tersebut dalam perkembangan kesejarahan kita.

Maka demikian, Tragedi AACC hendaknya menjadi ajang instrospeksi diri kita sebagai komunitas. Mungkin selama ini kita lengah, terlalu egois memikirkan diri sendiri hingga lupa bahwa kondisi sosial budaya kita secara tak sadar semakin membesar dan membesar. Di jalanan sana ribuan atau bahkan jutaan remaja menanti untuk kita raih, untuk kita ajak berkreasi, maju bersama-sama, berkembang bersama-sama. Tragedi AACC dalam hal ini dapat kita jadikan sebagai momentum untuk bersatu mengkonsolidasikan diri bersama kawan-kawan dalam sebuah barisan yang rapat dan kuat. Satu tujuan bersama : membesarkan komunitas. Itu komitmen yang harus tetap teguh dipegang oleh setiap individu dalam komunitas.

Untuk mendapatkan tempat pertunjukan, misalnya, sebenarnya kita bisa menggunakan kekuatan massa. Perkiraan kawan-kawan di Ujungberung Rebels, massa mereka di Bandung saja sudah bisa mencapai sepuluh ribu jiwa. Jika dari satu orang saja dapat menyumbang lima puluh ribu, berarti setidaknya jika seluruhnya ikut menyumbang akan terkumpul dana 500.000.000. Lima ratus juta! Ini adalah sebuah potensi yang sangat besar jika dapat dikelola
dengan baik oleh pihak komunitas sendiri. Belum pihak-pihak lain yang saya yakin akan sangat mendukung program ini dan sedapat mungkin membantu kita merelisasikannya. Kita beli tanah lapang, rawat sebagai lapangan di kota yang juga difungsikan sebagai taman kota, youth center, pusat riset dan dokumentasi, skatepark, dan tentu saja tempat pergelaran kesenian dengan biaya sewa paling rendah.

Saya yakin 700% tempat ini akan aman dan dirawat bersama oleh komunitas. Rasa memiliki mereka akan lapangan ini akan besar dan karenanya tanggung jawab mereka untuk merawat dan menjaga juga akan sangat kuat. Jika ini berhasil, saya kira juga dapat dijadikan percontohan pendidikan kewarganegaraan yang baik bagi warga Bandung pada umumnya.

Maka kini terserah kepada kita. Akan lari dari tanggung jawab setelah merintis dan mengembangkan komunitas ini? Atau tetap membangkang menghajar jalanan, membantai setan yang berdiri mengangkang? Saya? Seluruh jiwa saya ada dalam tulisan ini!...

Penulis adalah editor MinorBacaanKecil, mantan personil Burgerkill dan penulis buku "My Self ; Scumbag Beyond Life and Death".

0 komentar:

Posting Komentar